Sejak awal kedatangannya, perkembangan fotografi Indonesia selalu mengait dan mengalir bersama momentum sosial-politik perjalanan bangsa ini. Momentum inilah yang menentukan perkembangan medium ini dalam masyarakatnya; dan, pada titik tertentu, juga turut berperan menciptakan momentum bagi masyarakatnya. Mulai dari momentum perubahan kebijakan politik kolonial, revolusi kemerdekaan, ledakan ekonomi awal 1980-an, sampai Reformasi 1998.
Sebagaimana jamaknya di tanah jajahan pada abad ke-19, fotografi didatangkan sebagai bagian dari tradisi representasi visual baru yang dimungkinkan oleh teknologi kamera, dalam rangka lebih memperkenalkan tanah jajahan dan penghuninya: manusia, hewan, dan tanaman. Tradisi ini kemudian berkembang sebagai dokumentasi visual yang secara sistematis mencatat properti dan wilayah pemerintah kolonial; yang kemudian dipakai sebagai sertifikat keberhasilan Belanda memperadabkan tanah jajahan dan dipamerkan di berbagai ekspo kolonial dunia.
Tahun 1841, seorang pegawai kesehatan Belanda, atas perintah Kementerian Kolonial, mendarat di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Juriaan Munich, nama ambtenaar itu, diberi tugas "to collect photographic representations of principal views and also of plants and other natural objects" (Groeneveld 1989). Tugas ini berakhir dengan kegagalan teknis. Di Holand Tropika, untuk menyebut wilayah mereka di daerah tropis, Munich kelabakan mengendalikan sensitivitas cahaya plat yang dibawanya, dihajar oleh kelembapan udara yang mencapai 90 persen dan terik matahari yang tegak lurus dengan bumi. Foto terbaik yang dihasilkannya membutuhkan waktu eksposure 26 menit.
Terlepas dari kegagalan percobaan pertama di atas, bersama mobil dan jalanan beraspal, kereta api dan radio, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai Pemerintah Belanda menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan, penempatan pasukan dan meriam, tetapi dengan membangun dan menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administratif kolonial, pegawai pengadilan, opsir militer, dan misionaris.
Latar inilah yang menjelaskan, mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) penguasaan alat ini secara eksklusif berada di tangan orang Eropa, sedikit orang China dan Jepang. Survei fotografer dan studio foto komersial di Hindia Belanda 1850-1940 menunjukkan dari 540 studio foto di 75 kota besar dan kecil, terdapat 315 nama Eropa, 186 China, 45 Jepang dan hanya 4 nama "lokal": Cephas di Yogyakarta, A Mohamad di Batavia, Sarto di Semarang, dan Najoan di Ambon.
Sedangkan bagi penduduk lokal, keterlibatan mereka dengan teknologi ini adalah sebagai obyek terpotret, sebagai bagian dari properti kolonial. Mereka berdiri di kejauhan, disertai ketakjuban juga ketakutan, melihat tanah mereka ditransfer dalam bidang dua dimensi yang mudah dibawa dan dijajakan. Kontak langsung mereka dengan produksi fotografi adalah sebagai tukang angkut peti peralatan fotografi. Pemisahan ini berdampak panjang pada wacana fotografi di Indonesia di kemudian hari, di mana kamera dilihat sebagai perekam pasif, sebagai teknologi yang melayani kebutuhan praktis.
Dibutuhkan hampir seratus tahun bagi kamera untuk benar-benar sampai ke tangan orang Indonesia. Masuknya Jepang tahun 1942 menciptakan kesempatan transfer teknologi ini. Masuknya Jepang pada 1942 menciptakan kesempatan transfer teknologi ini. Karena kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kator berita mereka, Domei. Mereka inilah, Mendur dan Umbas bersaudara, yang membentuk imaji baru Indonesia, mengubah pose simpuh di kaki kulit putih, menjadi manusia merdeka yang sederajat. Foto-foto mereka adalah visual-visual khas revolusi, penuh dengan kemeriahan dan optimisme, beserta kesetaraan antara pemimpin dan rakyat biasa. Inilah momentum ketika fotografi benar-benar "sampai" ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai merepresentasikan dirinya sendiri.
Kalah populer
Dari momentum yang sangat penting ini, tanpa mengingkari nilai historis yang diciptakannya, gagasan fotografi sebagai perekam pasif masih berlanjut. Sehingga ketika kamera merekam lautan perubahan di tengah revolusi, dan imaji yang tersebar mengungkap kelahiran sebuah bangsa, subyek yang direpresentikan begitu dominan, meninggalkan subyek yang merepresentasikan, sang fotografer. Nama Mendur dan Umbas bersaudara, misalnya, jauh kalah populer dibanding pelukis yang juga aktif dalam revolusi seperti Soedjojono dan Afandi. Fungsi kamera sebagai pengkopi realitas semakin dipertegas, dan fotografer tertinggal di belakang kamera sebagai operator, sebagai "tukang potret".
Peran sebagai "tukang potret" yang menghilangkan keterlibatan manusia dari proses reproduksi ini, dalam derajat yang berbeda-beda masih terus terpelihara sampai sekarang. Perkembangan industri media cetak di Indonesia sejak awal 1970-an memang menjadi momentum penting bagi kelahiran fotografer-fotografer baru. Namun, pertambahan kuantitas ini tidak secara otomatis berbanding lurus dengan perkembangan fotografi itu sendiri. Industri media cetak tidak menaruh perhatian lebih jauh pada peran fotografi, selain kepenuhan informasi visual yang hampir selalu disertai semangat sensasional. Pencantuman kredit nama fotografer pada setiap foto yang dipublikasikan pun baru mulai pada awal 1990-an. Mereka juga merasa cukup dengan fotografer hasil didikan kursus kilat fotografi atau para otodidak. Dari sini, tidak berarti tidak ada bakat yang berkembang, namun tidak cukup untuk menjadi sebuah fenomena dalam sejarah fotografi Indonesia, selain menjadi catatan kasus individu yang luar biasa seperti Kartono Ryadi. Sering kali bakat-bakat menjanjikan yang disemai dari wilayah ini, justru terseret ritme kerja industri media yang menenggelamkan mereka dalam rutinitas. Untuk periode yang cukup lama (1970an-1990an), fotografi Indonesia terbenam dalam fungsi melayani industri. Momentum pertumbuhan ekonomi dan perkembangan infrastruktur media cetak ternyata tidak berbicara banyak pada perkembangan medium representasi visual ini, baik dari tema, cara ungkap, dan inovasi estetisnya.
Dengan total oplah sekitar empat juta eksemplar, media massa cetak di Indonesia sebenarnya bukanlah acuan yang cukup signifikan bagi perkembangan fotografi kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk hampir 250 juta. Namun, media massa cetak menjadi wilayah perkembangan yang sangat penting dalam periode ini karena dia menjadi satu-satunya ruang yang paling mungkin. Karena ruang perkembangan fotografi yang lain seperti galeri, museum, industri buku, festival, dan pasar fotografi lebih sedikit lagi menyediakan kesempatan. Dari sini pulalah kita bisa memahami mengapa agensi foto tidak berkembang di Indonesia sampai awal abad ke-21, karena sebagian besar jurnalis foto sudah tertampung dalam medianya masing-masing.
Di lain pihak, tidak sulit untuk menyadari, juga untuk fotografer Indonesia, bahwa setiap foto adalah selalu interpretasi atas realitas dari pada melulu salinan mentahnya. Sehingga posisi dan peran fotografer sebagai subyek perepresentasi tidak dapat diabaikan. Reproduktibilitas foto yang mendulang banyak masalah etis dalam distribusinya, juga menjadi pengetahuan yang tidak eksklusif di kalangan fotografer, juga peran penting fotografi dalam perubahan sosial. Nama para master fotografi beserta capaian teknis, tema, dan estetis mereka juga merupakan bahan pembicaraan keseharian, yang kadang menyelipkan nama penulis fotografi dan pemikiran mereka.
Masalahnya, gagasan yang berkembang di seputar fotografi tersebut tidak menemukan ruang dan titik pijaknya. Mereka hanya beredar secara terbatas, dan tidak mempunyai dampak signifikan pada praktik fotografi secara keseluruhan. Hal ini disebabkan, pertama karena tidak ada tradisi untuk membincangkan "kerumitan" di atas, sebab kamera dalam sejarahnya hanya diterima dan dipraktikkan dalam fungsinya yang purba: pengkopi realitas. Fotografi lebih dikenal dan disederhanakan dalam hijau-kuning-biru dari Fuji-Kodak-Konika, sebagai bisnis pengkopi realitas yang tersebar dalam studio foto komersial.
Kedua, tidak ada kebutuhan untuk "memperumit" praktik fotografi yang sudah berjalan. Media massa cetak tidak mempunyai tuntutan lebih dari fungsi dokumentatif yang cenderung tidak bermasalah secara politis. Dari sini sebenarnya menarik untuk melihat fakta bahwa dalam periode pemerintahan militer Soeharto (1966-1998) yang banyak melakukan pembatasan kebebasan berekspresi, tidak pernah tercatat sensor terhadap foto atau media cetak ditutup karena publikasi salah satu fotonya, kecuali dengan alasan pornografi. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu parameter mandeknya fotografi sebagai medium ekspresi, plus ketidakacuhannya pada kondisi masyarakatnya.
Ketiga, kalaupun ada fotografer yang berkarya di luar kejamakan, saat mereka tidak mau lagi berfungsi sebagai "tukang potret", tidak ada infrastruktur yang mendukung mereka. Mereka akan kesulitan untuk memublikasikan atau memamerkan karya mereka. Sampai awal 1990, fotografi Indonesia belum mendapatkan momentum untuk berkembang lebih jauh dari apa yang sudah dijalaninya selama 150 tahun.
Momentum tersebut perlahan terbangun saat Institut Kesenian Jakarta, yang berdiri sejak tahun 1971, membuka Departemen Fotografinya tahun 1992. Pada tahun yang sama, kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara, galeri pertama yang mengkhususkan diri pada foto jurnalistik. Dua tahun kemudian, Institut Seni Indonesia di Yogyakarta juga membuka Departemen Fotografi. Lewat tiga institusi inilah untuk pertama kalinya, fotografi Indonesia menemukan ruang berkembang yang konsisten, terstruktur dan sistematis, di luar praktik keseharian. Mereka memberi tempat pada minat, untuk berkembang.
Pada saat yang sama mereka juga mulai membangun apresiasi publik untuk menyadari bahwa fotografi bukan sekadar "you press the button, we do the rest". Momentum ini memuncak pada reformasi politik 1998. Atmosfer kebebasan pada saat itu mendorong para fotografer menyampaikan pendapat visual mereka dalam berbagai pameran. Dan publik pun mendapat suguhan pilihan representasi visual di luar media massa. Pameran foto menjadi acara kebudayaan yang populer, begitu pula identitas sebagai fotografer. Momentum ini juga didukung dengan bermunculannya galeri foto, organisasi fotografi, dan agensi foto.
Mulai yakin
Dengan dukungan momentum dan infrastruktur di atas, generasi terbaru fotografi Indonesia mulai yakin untuk mengembangkan minat dan gaya di luar kejamakan di atas. Mereka masuk lebih dalam pada subyek yang mereka garap, atau menjadikan pengalaman personal sebagai karya otobiografis. Mereka tidak lagi khawatir bahwa karya tersebut tidak mendapatkan ruang apresiasi. Di samping itu, berbagai peristiwa sosial politik besar dan bencana alam datang silih berganti, menjadi tambahan momentum yang menuntut para fotografer untuk bersikap dan mengekspresikannya dalam bentuk-bentuk yang baru. Bersamaan dengan ini, diskusi aspek nonteknis fotografi berkembang di media massa cetak, katalog pameran, majalah, dan seminar.
Sampai di sini, bisakah kita melacak perkembangan artistik fotografi di Indonesia? Bisakah kita menarik kaitan antara perkembangan fotografi kolonial, semasa revolusi, dengan praktik kontemporer medium ini? Dalam konteks ini, perkembangan fotografi Indonesia sejak kedatangan kamera di wilayah ini 166 tahun yang lalu masih sulit dilacak dan dipaparkan secara sistematis dan komprehensif. Pertimbangan-pertimbangan estetis dari ekspresi estetis setiap individu fotografer tampak tidak berakar dari para fotografer sebelumnya. Kita sulit melacak, misalnya, pengaruh Mendur dan Umbas bersaudara pada para fotografer jurnalistik sekarang. Apalagi pengaruh fotografer dan studio foto pada masa kolonial pada perkembangan artisitik fotografi sekarang.
Pengenalan medium ini di Indonesia, disertai dengan formalisasi tradisi visual Barat yang diadopsi oleh fotografi sebagai teknologi yang juga Barat, menjadi salah satu faktor kesulitan utama mendapatkan bentuk fotografi yang khas Indonesia. Padahal asumsinya kalau fotografi punya keterikatan mutlak dengan realitas dalam arti yang paling harfiah, setiap kondisi geografis dan cuaca tertentu pasti membentuk bangunan estetisnya sendiri. Tapi kenyataannya, problem teknis terus menyertai perkembangan fotografi di wilayah ini, di mana para fotografer harus terus berusaha menyelesaikan kendala-kendala teknis teknologi rekam Barat ini dengan udara dan cuaca tropis.
Pengaruh artistik studio foto komersial dari zaman kolonial yang masih tampak jejaknya adalah backdrop pemandangan alam atau kota yang indah dan romantis. Fotografi jurnalistik, alih-alih meneruskan tradisi Mendur dan Umbas bersaudara, malah masuk dalam referensi artistik World Press Photo. Sedangkan perkembangan di luar itu, yang baru berlangsung 10-15 tahun terakhir, adalah jangka waktu yang terlalu singkat untuk menarik kesimpulan. Simpul-simpul perkembangan yang ada, seperti sekolah dan galeri foto, walau setiap karakternya mulai dapat dirasakan, perjalannya masih harus diikuti lebih jauh.
Karya-karya mutakhir fotografi Indonesia yang sekarang kita lihat adalah hasil dari dialog medium ini dengan berbagai momentum yang menyertai perjalanan masyarakat di mana dia berada. Sebuah perjalanan pembebasan dari keterkungkungan fungsional (sambil terus berada di dalamnya), untuk ikut berbicara lebih banyak dalam perjalanan masyarakatnya (sambil tetap menjalankan fungsi praktisnya), untuk kemudian menciptakan momentumnya sendiri.
Mungkin sebaiknya kita tidak hanya bertanya apa yang dicapai fotografi Indonesia setelah lebih dari satu setengah abad kehadiran medium ini, tetapi juga mulai melihat keterlibatan fotografi dalam perkembangan masyarakat Indonesia modern.
Minggu, 28 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar